Selasa, 20 November 2012

GARA-GARA MEMOTONG 2 BATANG BAMBU, 2 PEMUDA TERJERAT HUKUM

          Gara-gara memotong dua batang bambu yang menimpa rumahnya, dua pemuda asal Dusun Tampingan II, Desa Tampingan, Kecamatan Tegalrejo, Megelang duduk di meja hijau. Kedua terdakwa tersebut adalah Budi Hermawan (28) dan Muhammad Misbakhul Munir (21). Diketahui, Kejadian bermula ketika warga desa sekitar secara spontan membersihkan dan memotong dua batang bambu yang menimpa rumah Siti Fatimah. Namun seminggu setelahnya Budi, Munir dan empat warga lainnya mendapat surat panggilan dari Polres Megelang dengan aduan pengrusakan barang dan pencurian pohon bambu. Muh Yuri (50) orang tua dari Budi mengaku hanya bisa pasrah melihat kondisi tersebut. "saya tidak bisa berbuat apa-apa, wong saya cuma orang kecil, saya hanya tahu kalau pemerintah seharusnya berpihak pada orang kecil", keluhnya. Perasaan sedih juga dirasakan oleh Siti Fatimah bahkan ia tak kuasa menahan tangis melihat anaknya Munir harus diadili.



          Hal ini tentunya sangat disayangkan karena kasus tersebut ternyata tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan padahal jika kita lihat dari kacamata hukum kasus tersebut tidak sepantasnya dibawah ke meja hijau. Mungkin kasus nenek Minah yang mencuri tiga buah biji kakao serta kasus seorang nenek yang mencuri singkong di Lampung belum hilang dari ingatan kita. Semua kasus tersebut mencerminkan bahwa Penegakan Hukum di negeri bagaikan Pisau Dapur "Tajam ke bawah Tumpul ke atas" seakan-akan hukum diciptakan hanya untuk diberlakukan pada rakyat kalangan bawah dan ntah sampai kapan slogan itu akan tetap melekat pada sistem penegakan hukum di Bumi Pertiwi ini. Padahal di lain sisi kasus-kasus besar macam korupsi yang notabenenya lebih merugikan uang negara serta merampas hak-hak rakyat kalangan bawah sering mendapatkan keistimewaan hukum bahkan tidak sedikit dari meraka para koruptor yang bejat dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti dalam persidangan. Sungguh sangat tragis !!!

             Dan jika kita memang sepakat bahwa hukum itu harus berlaku tanpa memandang bulu maka okelah siapapun  yang melakukan kesalahan, kecil atau besarnya, miskin atau kayanya maka semuanya harus dihukum tanpa terkecuali (equal justice under law) tapi faktanya di negeri ini orang-orang kalangan bawah masih sering dibuat merintih akibat penegakan hukum yang selalu memihak, sementara orang-orang terhormat dengan mudahnya mereka memanfaatkan kekayaannya sebagai alat tukar-menukar untuk menwar-nawar hukum. Maka tak salah jika Hukum jaman sekarang dapat diibaratkan dengan Logistik. saya masih teringat dengan perkataan dosen hukum saya (Dr. Zainuddin, S.H, M.H) yang menyatakan bahwa "sistem penegakan hukum di Indonesia adalah sistem penegakan hukum yang tidak jelas". Berbeda dengan Negara Amerika dan Jepang. Amerika telah konsisten dengan sistem litigasinya, salah sedikit maka akan berurusan dengan hukum, lain lagi dengan Jepang hampir semua kasus-kasus hukum yang terjadi di sana diselesaikan diluar jalur hukum (non litigasi), bahkan pengacara-pengacara (advokat) yang ada di Jepang banyak yang telah beralih profesi disebabkan karena tidak adanya perkara yang mereka bisa tangani. Nah bagaimana dengan Indonesia ??? kata pak Zainuddin di Indonesia sistem penyelesaian hukumnya "gado-gado", pasalnya kadangkala persoalan kecil-kecil yang seharusnya bisa deselesaikan dengan cara kekeluargaan (non litigasi) tapi mereka lebih memilih jalur meja hijau (litigasi) yang justru penyelesaiannya dianggap tidak efektif bahkan lebih memperkeruh masalah. Begitupun sebaliknya persoalan besar seperti korupsi yang faktanya merugikan banyak kalangan sering diselesaikan tanpa melalui jalur hukum yang benar (sogok menyogok, loby meloby).

            Indonesia adalah Negara Hukum maka setiap perbuatan yang dianggap melawan hukum maka dapat pula diselesaikan secara hukum. Orang mencuri biji kakao, singkong, sandal jepit dan termasuk menebang pohon bambu semuanya dapat diproses secara hukum, akan tetapi mereka (masyarakat dan para penegak hukum) seharusnya dapat mempergunakan nalar hukum sebagai alat untuk mempertimbangkan tentang apa dampak yang akan ditimbulkan jika persoalan kecil diselesaikan dengan sistem litigasi (jalur hukum) yang pada hakikatnya persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan sistem non-litigasi (kekeluargaan). semoga setelah membaca postingan ini kita dapat disadarkan bahwa tidak selamanya persoalan/kasus/perkara yang kita alami harus diselesaikan secara hukum, jauh sebelum terbentuknya hukum positif, masyarakat Indonesia telah diajarkan menyelasaikan segala bentuk persoalan dengan cara kekeluargaan yang berdasar kepada Groundnorm (norma dasar) yang telah lama hidup dalam masyarakat.

          Akhir kata "Tegakkan Hukum walau Langit akan Runtuh"
          Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

3 komentar:

  1. Saran aja nih bang... Untuk kalimat panjang dengan bidang lebar [kayak blog ini], mending pake "rata Kiri" supaya pembacanya gak cepat bosan. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasi bang sarannya. wajar nhi baru pemula pengguna blog..

      Hapus